Review Buku: Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC

Posted: Minggu, 24 Maret 2013 by rizki ahmad F in
0

Judul      : Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC
Penulis   : Leonard Blusse
Penerbit : LKIS, Yogyakarta,
Terbit     : Agustus 2004
Tebal      : xx + 532 halaman

Berawal dengan pemilihan sumber yang terkesan aneh bagi kebiasaan sejarawan, Leonard Blusse menampilkan catatan harian serdadu VOC, buku diary seorang perempuan yang tersisihkan, dan arsip gereja sebagai sumber penulisannya. Dengan sumber itu Blusse dapat menuliskan sebagian kisah di Batavia sekitar abad XVII.  Sumber yang terkesan non-penguasa ini, membuka sisi lain kehidupan VOC di negeri jajahannya, Batavia.

Dalam buku ini, Blusse menunjukan pada pembaca untuk melihat sumber yang tidak dipublikasikan kolonial. Bagi sejarawan Indonesia, arsip gereja ini tidak pernah di jamah sama sekali, padahal arsip ini memuat rekam jejak sosial-politik jaman VOC. Penulisan Blusse ini seolah-olah hadiah besar bagi penjelasan sejarah relasi sosial berbagai kelompok di Hindia Belanda, terutama Batavia.
Dengan menggunakan perspektif humanisme, Blusse mencoba menampilkan sisi gelap kehidupan Kolonial VOC. Tulisannya ini mengulas korban perempuan dan anak-anak yang hidup di Batavia secara kritis dan tajam. Perbudakan perempuan China, penindasan kaum perempuan Batavia, dan posisi rendah kaum perempuan Belanda adalah sisi gelap VOC yang kurang tergarap dan tersentuh dalam kajian sejarah kolonial.
Pada periode itu, Batavia bisa dikatakan surganya perempuan yang datang dari berbagai penjuru eropa, China, bahkan wilayah Hindia Belanda. Banyak dari perempuan tersebut dijadikan istri oleh kompeni selama menjalankan pekerjaannya di Hindia Belanda. Disaat kompeni habis masa kontrak, perempuan yang dijadikan istri ini ditinggal. Tidak jarang perempuan-perempuan ini menjadi gelandangan, bahkan memiliki anak tanpa bapak.
Secara luas, Blusse mencoba memaparkan kedudukan perempuan Batavia di mata kolonial. Disamping itu, buku ini juga mencoba memahami perempuan yang bergerak melawan sistem kolonial yang tiran. Sistem yang dimaksud, berupaya membodohi perempuan agar mengikuti kehendak kompeni dengan kedok otoritas gereja. Kompeni memanfaatkan sistem religi yang ada hanya dagelan mereka agar dianggap sah menyetubuhi perempuan dan pergi seenaknya. Bertubi-tubi Blusse menuliskan rekam jejak hitam yang terjadi di Batavia dan membuka cakrawala pikiran bahwa kolonial mencoba memperkosa nalar juga nasib perempuan lewat suatu sistem. Hal ini berulang, perempuan tetap saja dicampakan apabila suaminya selesai kontrak kerja dan balik ke negaranya.
Selanjutnya, buku ini menampilkan kisah perempuan yang melawan kekuasaan tiran kolonial, salah satunya ada di bab pertengangahan. Perempuan yang digambarkan ini bernama Cornelia yang menggugat salah satu anggota Mahkamah Pengadilan di Hindia Belanda, John Bitter (suaminya). Aksi keras perjuangan Cornelia van Nijenroode hingga di tingkat pengadilan merupakan aksi perlawanan tirani domestik dan ketidakberdayaan perempuan Hindia Belanda terhadap sistem politik yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hukum Belanda abad ke-17 berbicara kedudukan yuridis wanita yang bersuami, praktis tidak ada: de vrouw is onbekwaam. Artinya, wanita yang telah menikah tidak punya wewenang hukum terikat pada suatu perjanjian. Jadi, harta yang dikumpulkan dengan keringatnya sendiri akan dimiliki oleh suami, ia sendiri tak berhak atas harta itu (hal 365).
Ulasan lain dari buku ini dengan meneliti kompleksitas politik dan ekonomi yang komprehensif. Buku ini berupaya mengangkat korban-korban pergolakan itu ke wilayah lebih luas. Suara-suara para korban ini dijadikan sebagai sumber utama dan aktor terpenting dalam penulisan. Terdapat contoh kasus lain yang terdapat buku ini dan korbannya orang China di Batavia. Blusse  mencoba mengurai kedudukan orang China ketika dibawah kekuasaan VOC.
Berawal dari pengusiran rakyat pribumi ke Banten,  VOC menjadikan Batavia sebagai kawasan yang terlindungi untuk kepentingan kompeni dan menarik pedagang antar pulau. Dengan datangnya para pedagang dari penjuru wilayah, orang China mendapat posisi spesial bagi VOC. Hal ini tidak terlepas dari karakter ulet orang China dan masuknya China pada jaringan perdagangan baik itu pulau ataupun antar pulau. Dampaknya, China mampu mendatangkan bukan hanya pedagang, akan tetapi penggarap tanah yang nantinya akan jadi tuan tanah.
Pada masa awal di Batavia, hubungan VOC-China sangatlah mesra, hal ini terlihat dari saling membantu diantara keduanya ketika perang melawan rakyat pedalaman Jawa. Selain itu, mereka bekerja sama disaat keduanya ada kepentingan di Banten. Maka setelahnya dibentuk suatu sistem kepemerintahan baik itu politik atau hukum yang lebih rapi oleh VOC dan menguntungkan kedua pihak. Pada Bab III dan bab IV, Blusse mengkaji jaringan perdagangan eropa dan perdagngan China ini terjalin dan dapat memainkan fungsi-fungsinya. Hal ini terlihat dengan adanya uang timah, yang menandakan bahwa mereka pernah bekerja sama di Jawa. Dan dari berbagai hal diatas, tidak dapat ditolak bahwa orang China memiliki posisi berbeda pada struktur mayarakat Batavia dibawah VOC.
Pembahasan dalam buku ini bertambah brilian dan nyeleneh ketika Blusse mampu mengobrak-abrik hubungan VOC dan China yang jarang sekali terungkit pada catatan lain. Blusee menjelaskan kolonisasi antara VOC-China ini berujung kegagalan dan Blusse melakukan pendekatannya melalui data statistik kependudukan pada saat itu, karena pada periode itu sudah ada pendataan penduduk yang hilir mudik di Batavia.
Bermula dari sistem politik VOC yang mengelompokan pemukiman penduduk karena majemuknya Batavia mendapat kegagalan. Reproduksi yang terjadi dipemukiman VOC atau sesama orang eropa tidak berjalan dengan lancar. Sebagai gantinya, VOC melakukan hal yang sama seperti halnya portugis kawin dengan pribumi. Akan tetapi VOC tidak terlalu banyak memilih pribumi, tapi lebih banyak memilih partner dagangnya, China. Kolonisasi dalam bentuk lain itu pun terhambat di tengah jalan oleh karena muncul ekses pergundikan yang mengancam pertambahan keturunan. Kolonisasi macam ini pun hanya menghasilkan data statistik bayi yang meninggal karena keguguran. Maka dalam hal ini VOC menggunakan gereja sebagai alat untuk mendisiplinkan perempuan-perempuan itu. Caranya dengan menikahkan mereka secara gerejawi dan membaptis anak-anak yang berayah Kristen. Dan pada bagian ini, Blusse menamainya dengan persekutuan aneh. Kolonisasi VOC dengan China di Batavia ini merupakan persekutuan aneh yang benar-benar aneh.

0 komentar: