Pengaruh Perkebunan dan Pertambangan di Hindia Belanda Terhadap Perkembangan Ekonomi Kapitalistik

Posted: Minggu, 24 Maret 2013 by rizki ahmad F in
0


Pendahuluan
Dalam konsep perekonomian penjajah, perkebunan dan pertambangan di Hindia Belanda mendapat posisi penting. Perkebunan dan pertambangan Hindia Belanda menjadi komoditas yang tak habis-habisnya dihisap oleh bangsa barat dari Hindia Belanda, Preanger Stelsel dan Cultuurstelsel sebagai contoh di lakukan atas nama negara Kolonial Belanda. Selanjutnya, keduanya ditiadakan dan menyusul ekspansi perkebunan secara besar-besaran oleh kolonial pada tahun 1870. Pembukaan perkebunan secara besar-besaran ini dapat dibahasakan “keluar mulut penguasa, masuk mulut pengusaha”, karena dalam periode ini pengusaha swasta menjadi ujung tombak dari perekonomian Dalam pembahasan, penulis menuliskan pengaruh ekspansi perkebunan dan pertambangan terhadap perkembangan ekonomi kapitalistik. Ekonomi ini merupakan sistem yang berkembang pada periode pembukaan perkebunan besar-besaran tersebut.
Pembahasan
     Setelah dihapuskannya sistem tanam paksa, negara kolonial menerapkan sistem perekonomian swasta yang ditandai dengan kemunculan Agrarische Wet tahun 1870. Agrarische Wet ini merupakan undang-undang yang mulai diberlakukan negara kolonial untuk membuka lahan perkebunan juga pertambangan yang seluas-luasnya di Hindia Belanda. Pembukaan lahan tersebut dengan cara, keluar dari mulut penguasa dan masuk mulut pengusaha. Dalam ketentuan undang-undang ini, terdapat pencegahan akan timbulnya kekuasaan yang dapat merampas hak milik secara semena-mena.[1] Selanjutnya, pencegahan yang dimaksudkan diatas menjadi ironi ketika undang-undang ini mengatur perolehan tanah yang dapat dikusai oleh pihak swasta dengan cara sewa yang mudah.  Tanah-tanah yang diatur dalam undang-undang tersebut misalnya berupa penyewaan tanah yang terdiri dari 75 tahun bagi tanah-tanah pemerintah dan 5-20 tahun bagi tanah rakyat. [2] Agrarische Wet ini secara spesifik mengatur penguasaan tanah yang terjadi di Hindia Belanda, tanpa mengatur gaji dan distribusinya.
     Penguasaan atau pembukaan tanah di Hindia Belanda terjadi melalui beberapa varian., seperti halnya yang terjadi di Pulau Sumatera dengan sistem konsesi, yaitu berupa sewa tanah rakyat yang dinegosiasikan dengan raja atau sultan, hal demikian terjadi karena adanya konsep Hak Marga. Di Jawa dan Madura dengan menggunakan sistem Erfpacht, berupa sewa tanah turun-temurun, sehingga bisa dijadikan jaminan kredit. Maka, wajar sekali ketentuan ini membuat orang Eropa atau pemodal Eropa membanjiri wilayah Hindia Belanda. Terdapat data statistik bahwa seiring dengan dibukanya perkebunan swasta secara besar-besaran ini, banyak orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda dengan membawa keluarganya. Pada tahun 1852 terdapat 17.285 orang Eropa di Jawa, pada tahun 1900 meningkat menjadi 62.477 orang.[3] Peningkatan jumlah penduduk Eropa ini tak lain dengan semakin nyamannya para pemodal untuk tinggal dan bertahan di tanah jajahan dengan ketentuan yang sangat menguntungkan.
            Pada periode diatas terdapat luas tanah perkebunan dan pertambangan yang disewakan pada pihak swasta begitu banyak,  bahkan luas pertambangan swasta jauh meninggalkan luas tanah pemerintah. Berikut datanya:
Perbandingan Jumlah Tambang-tambang Pemerintah dengan Tambang-tambang Pertikelir1887-1891
Tahun
Jumlah Tambang Pemerintah
Jumlah Tambang Partikelir
1887-1888
97
227
1888-1889
96
195
1889-1890
92
263
1890-1891
94
182
Sumber: H. Zondervan, Bangka en zijne Bewoners (Yogyakarta: Ratna Dewi K.,2002), hlm.107
Luas Tanah Perkebunan di Indonesia (HA)
Tahun
Persewaan Tanah Desa
Tanah Konsesi (Luar Jawa)
1870
8.000
25.745
1880
16.000
57.953
1890
75.212
343.021
1900
109.112
478.882
1910
141.403
830.126
1920
208.820
1.146.541
1930
204.873
1.250.653
1940
104.043
1.005.261
Sumber: W.M.F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia Vol.1 (Indonesia Export Crops 1816-1940), hal. 57-62[4]

        Dari data diatas terlihat peran pemerintah Hindia Belanda yang tidak sebesar pada periode Tanam Paksa. Di sisi lain, disaat minimnya peran pemerintah, permasalahan terdapat pada gaji/upah dan distribusi hasil pertambangan juga perkebunan tersebut. 
          Dalam suatu usaha perkebunan dan pertambangan, diperlukan suatu manajemen yang senantiasa mengurusi peningkatan efisiensi usaha tersebut. Efisiensi ini berupa variasi kombinasi faktor-faktor produksi, maupun penekanan biaya produksi. Upaya penekanan biaya produksi sangat sentral untuk keberlangsungan perusahaan. Pada periode yang sama, permintaan pasar di eropa sangat memerlukan hasil-hasil dari perkebunan juga pertambangan di negara jajahan, Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, output dari usaha swasta ini menitik beratkan pada kebutuhan pasar eropa, bukan pribumi. Sehingga, bisa diambil kesimpulan bahwa kesejahteraan tenaga kerja yang terlibat tidak menjadi acuan dalam usaha ini, padahal output dari perkebunan juga pertambangan itu sendiri mengalami peningkatan. Pada akhirnya, terdapat ketimpangan pada distribusi. Hal demikian bisa
dilihat dari table ekspor sebagai berikut:
 
Jumlah Ekspor Gula (1840-1940) per Ton
Tahun
Ekspor (rata-rata 5 th)
1840
59
1845
76
1850
95
1855
109
1860
129
1865
142
1870
172
1875
217
1880
255
1885
384
1890
414
1895
547
1900
786
1905
1063
1910
1327
1915
1528
1920
1640
1925
2112
1930
2893
1935
913
1940
1528
Sumber: William J. O’Malley, Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar. Hlm. 204
Disamping itu, terdapat permasalahan mengenai upah atau gaji dari tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan. Dengan semangat efisiensi biaya produksi, upah yang murah turut menentukan laba bersih dari pemodal. Demi tercapainya efisiensi biaya produksi, pihak perusahaan swasta menetapkan batas upah dari buruh, dalam bentuk penekanan upah buruh.[5] Padahal dengan kerja selama 10-12 jam sehari, bahkan ada penambahan jam kerja, upah buruh tersebut tidak mencukupi untuk biaya sehari-hari para buruh. Demikian tabel upah buruh:

Upah Buruh di Perkebunan Tembakau di Sumatra Timur 1913-1940 (Sen/Hari)
Tahun
Upah Buruh
Harian
Pengluaran Makanan
Perumahan
Kesehatan
Jumlah
Upah

L
P
L
P
L
P
1913
43
33
10
10
53
43
1920
54
42
44
44
98
86
1925
52
42
10
10
62
52
1930
58
44
10
10
68
54
1935
49
30
7
7
55
37
1940
52
29
5
5
57
34
Sumber Thee Kian Wie Plantation Agricultural and Export Growth, Leknas LIPI, hal 99.

Penutupan
          Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkebunan dan pertambangan di Hindia Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi kapitalistik. Hal itu dilihat dari penguasaan tanah yang dikuasai pemodal, pada faktor produksi seperti tenaga kerja yang dibayar sangat murah dan distribusinya yang mengutamakan pasar di eropa.

[1] Sartono Kartodirdjo. Lembaran Sedjarah: Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20. Yogyakaerta: Pertjetakan Universitas Islam Indonesia, 1972. Hal, 16.
[2] Mubyarto, dkk.Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta; Aditya Media kerjasama dengan P3PK UGM, 1993. Hal, 2.
[3] Ricklefs. M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008. Hal, 271.
[4] Data statistik tersebut diambil dari buku Mubyarto, dkk.Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. hal, 3.
[5] Mubyarto, dkk.Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta; Aditya Media kerjasama dengan P3PK UGM, 1993. Hal, 119.

Daftar Pustaka:
Linblad J. Thomas. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia.Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Pustaka Pelajar, 2002.
Ratna Dewi K., Pertambangan Timah di Pulau bangka Tahun 1812-1891 (skripsi), 2002.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.
Sartono Kartodirdjo. Lembaran Sedjarah: Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20. Yogyakarta: Pertjetakan Universitas Islam Indonesia, 1972.
William J. O’Malley, Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar.

0 komentar: