di satu waktu

Posted: Kamis, 29 April 2010 by rizki ahmad F in
0

Angin mendayu-dayu menggoyahkan kaki yang tergopoh-gopoh untuk melangkah. Bendera yang aku lihat di sebuah gedung pemerintahan seperti ingin menampakan seluruh tubuhnya untuk disetubuhi. Aku berjalan diantara itu. Ketika matahari hilang dikalahkan mendung yang menjadi ketika akan hujan aku masih berjalan. Itulah aku hari itu.

Masih pikiran ku kalut, bimbang, bahkan bingung harus menentukan pilihan. Aku berjabat erat dengan banyak kejadian mengejutkan akhir-akhir ini. Aku bukan terkejut karena akan menghadapi hal-hal itu, tapi aku terkejut karena aku bisa menggambarkan dengan begitu tepat sebelumnya. Padahal ketika itu jiwaku sepi terlantar diantara jiwa yang lain yang aku pandang meriah. Sunyi-senyap menyentuh tiap sisi diri, menyambar, bahkan membakar.

Lewat hari lalu itu aku ingin mencari masa-masa ku yang hilang, aku mencari dari sebuah keinginan yang sama ketika beberapa tahun sebelumnya. Sungguh aku mencari dalam keadaan seperti ini, seakan aku menggambarkan seorang pejalan jauh yang berupa manusia itu. Aku mencari dalam keadaan yang marah, sungguh akupun harus sanggup terbakar ketika itu. Nyatanya aku tidak sanggup, aku lemah dan memilih bungkam untuk semuanya. Bahkan serasa aku dengar kepak sayap kelalawar juga guyur sisa hujan dari daun. Yang hendak ingin menampaknya bimasakti yang jauh itu.

Karena hidup harus dirasakan itulah pikirku saat itu, dimana kita, disitu kita harus bernafas merasakan tiap angin yang hadir. Aku bukan sekadar hadir lalu pulang lagi. Ini harus dipertanggung jawabkan. Aku bukan malaikat yang dalam bentuk nyata juga bukan syetan dalam bentuk terlihat. Aku manusia saja. Ingin ku tetap berjalan dalam angin juga hujan. Merasa sebuah nikmat ketika tapak dia pergi kearah utara menjadikan sebuah rindu yang berbekas tanpa kembali hadir dan disitu lah bumi berdecak menguji, siapa aku?apa yang aku ingin?lantaskah aku ikut?ataukah aku menampakan diri dibatas kota dalam tunggu?

Seingatnya aku tau ini adalah kejadian pertama, keyakinan ku untuk berulang kini telah terbukti. Aku sekarang tau aku harus berbuat apa. Sedemikian aku tak kan lepaskan kebahagiaanku ini di hinggapi debu juga dibawa angin menyentuhnya di tiap yang ada. Sekarang menjadi pijakan ini adalah milik ku. Hak ku. Yang lantas aku jaga, kusetubuhi, juga ku benamkan rasa yang tertinggal ini dalam dia. Yang membuatku mencoba menatap bimasakti hadir di tempat nan jauh itu.

Sisa-sisa udara dalam embun kini masih terdengar, resah, melunglai, menjadikanku lebih besar karena dia sebatas menerima kenyataan untuk di jatuhkan dari daun. Menerima kenyataan memang penting, tapi alangkah bodohnya jika hanya menerima kenyataan saja. Tanpa mampu membuat kenyataan baru
Ini bukan semata tentang aku dan dia, juga bukan semata demi sebuah dendam. Juga bukan sekedar rindu yang menyesak.

0 komentar: